Jatuh cinta pada pandangan pertama dapat dikatakan sebagai sex appeal,
sesuatu dari orang tersebut membuat kita untuk tertarik dan lebih jauh
lagi, jatuh cinta. Sex appeal bisa jadi dari wajah, postur tubuh,
suara, bau badan, kecakapan (skill). Dan kita mungkin sudah
membayang-bayangkan bagaimana jodoh yang kita inginkan. Maka ketika
melihat orang yang selalu dimpikan, otak membangunkan kita dengan
sendirinya , “Aha, dia adalah orangnya.”
Cinta berpijak pada perasaan sekaligus akal sehat
. Yang mungkin terjadi dalam fenomena "cinta pada pandangan pertama"
adalah pasangan terserang perasaan saling tertarik yang sangat kuat
bahkan sampai tergila-gila. Kemudian perasaan itu berkembang jadi cinta
tanpa menempuh masa jeda. Dalam kasus "cinta pada pandangan pertama",
banyak orang tidak benar-benar mencintai pasangannya, melainkan jatuh
cinta pada konsep cinta itu sendiri. Sebaliknya dengan orang yang
benar-benar mencinta. Mereka mencintai pasangan sebagai persolinatas
yang utuh.
Berlakulah bijaksana untuk menyikapi " Cinta pada pandangan pertama " ini. Karena pada kenyataannya pernyataan cinta yang sebenarnya adalah cinta membutuhkan suatu proses. Saat kita pertama kali melihat lawan jenis, kita merasa tertarik. Nah hal itulah yang mendorong kita untuk melanjutkan ke proses selanjutnya untuk menemukan makna cinta dibalik ketertarikan itu.
Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini.
Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah. Imam Ibnu al-Jauzi berkata, ”Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela.”
Begitu juga ketika melihat wanita atau laki-laki yang bukan mahram, jika ia wanita yang cantik atau laki-laki yang tanpan dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit penilaian suatu keindahan. Rasa itulah yang disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang muncul dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan.
Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab r.a., ”Wahai Amirul Mukminin, aku telah melihat seorang gadis, kemudian aku jatuh cinta kepadanya.” Umar berkata, “Itu adalah termasuk sesuatu yang tidak dapat dikendalikan.”� (R Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, “Cinta adalah perasaan di luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada seseorang.” Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari pandangan mata pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak berlanjut kepada pandangan mata kedua. Karena, jika raca cinta ini kemudian berlanjut menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang untuk yang kedua kali, hal ini sudah masuk ke wilayah larangan.
Berlakulah bijaksana untuk menyikapi " Cinta pada pandangan pertama " ini. Karena pada kenyataannya pernyataan cinta yang sebenarnya adalah cinta membutuhkan suatu proses. Saat kita pertama kali melihat lawan jenis, kita merasa tertarik. Nah hal itulah yang mendorong kita untuk melanjutkan ke proses selanjutnya untuk menemukan makna cinta dibalik ketertarikan itu.
Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini.
Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah. Imam Ibnu al-Jauzi berkata, ”Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela.”
Begitu juga ketika melihat wanita atau laki-laki yang bukan mahram, jika ia wanita yang cantik atau laki-laki yang tanpan dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit penilaian suatu keindahan. Rasa itulah yang disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang muncul dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan.
Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab r.a., ”Wahai Amirul Mukminin, aku telah melihat seorang gadis, kemudian aku jatuh cinta kepadanya.” Umar berkata, “Itu adalah termasuk sesuatu yang tidak dapat dikendalikan.”� (R Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, “Cinta adalah perasaan di luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada seseorang.” Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari pandangan mata pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak berlanjut kepada pandangan mata kedua. Karena, jika raca cinta ini kemudian berlanjut menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang untuk yang kedua kali, hal ini sudah masuk ke wilayah larangan.
Allah SWT berfirman yang artinya,
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat.”
Katakanlah kepada wanita yang
beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara
kemaluan mereka.”� (An-Nuur: 30-31). Menundukkan pandangan yaitu
menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga
dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya
yang beraksi. Pandangan yang terpelihara adalah apabila secara tidak
sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha
melihat lagi kemudian.
Dari Jarir bin Abdullah, ia
berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang melihat dengan
mendadak. Maka jawab Nabi, “Palingkanlah pandanganmu itu”! “� (HR
Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).
Rasulullah
saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, “Hai Ali, Jangan sampai
pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada
pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.”� (HR Ahmad, Abu
Daud, dan Tirmizi).
Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul
Hawa menyebutkan bahwa dari Abu al-Hasan al-Wa’idz, dia berkata,
“Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa’idz wafat di kota Basrah, dia
dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi,
ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda
hitam itu pun bertanya kepadanya, “Wahai Habib, mengapa aku melihat ada
noktah hitam berada di wajah Anda?” Dia menjawab, “Pernah pada suatu
ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang
anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap
Tuhanku, Dia berfirman, “Wahai Habib?” Aku menjawab, “Aku memenuhi
panggilan-Mu ya Allah.” Allah berfirman, “Lewatlah Kamu di atas
neraka”. Maka aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku
berkata, “Aduh (karena sakitnya)”. Maka Dia memanggilku, “Satu kali
tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali
memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka).”� Hal tersebut
sebagai gambaran, bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang
kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di
akhirat kelak.
Cintailah apa yang patut kamu cintai... namun bijaksanalah dalam menyikapi. Karena perasaan cinta mampu membawa keindahan juga kesengsaraan.
REPOST FROM :
No comments:
Post a Comment